Kisah runtutan mengenai pendirian Desa Cirebon, kemudian berdirinya Keadipatian Cirebon, Pendirian Kerajaan Cirebon dan terpecahnya Cirebon sehingga memiliki 3 Raja dengan masing-masing Istananya merupakan suatu kesatuan cerita yang tidak dapat dipishkan apabila kita menginginkan sebuah pembahasan mendalam mengenai sejarah kerajaan Cirebon pada masa pendirian, kejayaan dan kemundurannya.
Setidak-tidaknya ada 4 runtutan kejadian sejarah (time line historical) mengenai Kerajaan Cirebon, yakni:
(1) Cirebon sebagai sebuah desa didirikan oleh Ki Danu Sela atau Ki Gedeng Alang-Alang pada sekitar tahun 1420-1430 Masehi.
(2) Cirebon sebagai Keadipatian dibawah kekuasaan Pajajaran didirikan oleh Walangsungsang (Cakrabuana) pada sekitar tahun 1460 Masehi.
(3) Sedangkan Cirebon sebagai Kerajaan Islam yang merdeka dari Pajajaran didirikan oleh Cakrabuana dan keponakanya Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) pada tahun 1482 Masehi.
(4) Kemudian Cirebon memiliki 3 Raja dengan masing-masing Istananya terjadi pada Tahun 1810 Masehi.
Cirebon Sebagai Sebuah Desa
Desa Caruban-Sarumban yang kemudian berubah menjadi Cirebon mulanya didirikan oleh Ki Danu Sela yang kemudian dijuluki Ki Gedeng Alang-alang, dijluki Ki Gede Alang-alang sebab jasanya membangun sebuah desa yang kelak dinamakan Cirebon dari yang semula hanya berupa tegal alang-alang (Rerumputan/Padang Ilalang) hingga menjadi ramai.
Pada waktu itu beliau menjabat sebagai Syah Bandar Pelabuhan Muara Jati kerajaan Pajajaran. Desa yang didirikanya kemudian menjadi ramai oleh para saudagar yang memang sebelumnya berlabuh dipelabuhan Muara Jati.
Seorang Syah Bandar atau Kepala Pelabuhan memang banyak diburu para sudagar dan pedagang, ada kemungkinan pada mulanya soal kepentingan perijinan dagang, inilah sebabnya mengapa Ki Gedeng Alang-alang desanya cepat ramai dikunjungi orang asing dari berbagai bangsa dizaman itu seperti dari Jawa, Cina, Sumatra, Makasar hingga kemudian diantara mereka turut meramaikan Cirebon.
Warna-warni, pembauran, percampuran manusia dari berbagai bangsa dan suku tersebut dalam bahasa Sunda lama disebut Sarumban-Caruban yang bermakna percampuran, atau perpaduan.
Dalam kata lain bermakna “percampuran dan perbaduan bangsa-bangsa dalam suatu tempat tertentu”. Hinggalah kemudian desa yang sebelumnya tak bernama itu disebut Caruban- Sarumban yang kemudian berubah menjadi Cirebon.
Selaku pendiri Desa Cirebon, Ki Gedeng Alang-alang kemudian mengangkat dirinya sebagai Kepala Desa, atau orang Cirebon menyebutnya Kuwu, beliaulah Kuwu pertama Cirebon.
Cirebon pada masa Ki Gedeng Alang-Alang meskipun ramai tidak mendapatkan perhatian serius dari pusat kerajaan Pajajaran. Lagipula Pelabuhan Muara Jati pada era itu kalah Pamor dengan Pelabuhan Cimanuk yang di Indramayu itu. Tapi kemudian, keadaan itu berubah setelah Walangsungsang memperistri Nyai Retna Riris, kelak bernama Nyai Kencana Larang yang tak lain merupakan anak daripada Kuwu Cirebon I.
Walangsungsang kemudian diangkat oleh mertuanya menjadi Pangraksabumi (Raksabumi) jabatan dalam Pemerintahan Desa yang mengurusi soal tatakelola tanah, pertanian dan bangunan, sehingga setelah mengemban jabatan itu Walangsungsang kemudian dikenal dengan sebutan Ki Cakrabuana yang bermakna seorang yang mengemban jabatan Raksabumi.
Cakrabuana adalah nama julukan dari seorang pendiri Cirebon, nama aslinya Walangsungsang. Dijuluki Cakrabuana karena beliau pernah mengemban jabatan sebagai Pangraksabumi di padukuhan Caruban. Cakrabuana maksudnya orang yang bertugas menjaga bhumi/tanah sebab begitulah tugas dari seorang Pangraksabumi.
Pangeran Cakrabuana adalah anak pertama dari Prabu Siliwangi dan Subang Larang. Ibunya adalah istri ke dua Prabu Siliwangi. Subanglarang atau Subang Kerancang merupakan putri Mangkubumi Mertasinga (Singapura), yaitu suatu daerah/kerajaan kecil yang kala itu berada di daerah Gunung Jati Cirebon.
Pangeran Cakrabuana memiliki satu orang adik perempuan dan satu adik laki-laki yaitu, Rarasantang dan Raja Sengara/Kian Santang.
Pada mulanya Pangeran Cakrabuana tinggal di Istana Pajajaran, namun karena persilisihan dengan keluarga yang lain, beliau akhirnya bersama adik perempuannya mengembara, dan mencari guru agama Islam hingga sampai di Gunung Jati.
Di Gunung Jati Cakrabuana dan adiknya belajar Islam kepada Syekh Nurjati, selepas beberapa tahun menuntut ilmu di Gunung Jati, Cakrabuana bersama adiknya menunaikan Ibadah Haji.
Di Mekah, adik Cakrabuana rupanya memperoleh jodoh, Rarasantang menikah dengan seorang penguasa dari Mesir. Oleh karena itu selepas menunaikan Ibadah Haji, Cakrabuana kembali ke Jawa tanpa didampingi oleh adik perempuannya.
Sekembalinya dari Mekah, Cakrabuana tinggal bersama gurunya di Gunung Jati, sebelum akhirnya memutuskan untuk tinggal di Padukuhan Caruban yang kala itu dikepalai oleh Ki Gedeng Alang-Alang.
Oleh Ki Gedang Alang-Alang Cakrabuana dijadikan menantu, sekaligus juga diberikan jabatan Pangraksabumi/Raksabumi di padukuhan Caruban, selanjutnya setelah Ki Gedeng Alang-Alang wafat, Cakrabuana kemudian mewarisi jabatan sebagai Kuwu Caruban, dimasa pemerintahannya Caruban perlahan demi perlahan maju pesat, hingga menjadi Grage atau Kota Besar.
Pangeran Cakrabuana selama hidupnya dikisahkan pernah menikah dua kali, yaitu menikah dengan Nyi Rasa Jati, anak gurunya dan dengan Nyimas Kencana Larang anak dari Ki Gede Alang-Alang.
Dari pernikahan dengan kedua istrinya, Pangeran Cakrabuana memperoleh sepuluh anak, yaitu tujuh anak dari istri pertama dan tiga anak dari istri kedua.
Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Cakrabuana kemudian mewarisi jabatan sebagai Kuwu Cirebon, oleh sebab itulah kemudian Walangsungsang dikenal juga oleh masyarakat Cirebon dengan sebutan Mbah Kuwu Cirebon.
Pada masa pemerintahan Kuwu Cirebon II desa Cirebon mendapat perhatian serius dari pusat Kerajaan Pajajaran, bagaimana tidak, seorang pangeran yang terbuang yang terasing dari Istana, anak Parabu Siliwangi dengan Nyimas Subang Larang kini menjadi Kuwu yang sukses di pesisir utara wilayah Pajajaran.
Hal tersebut ternyata membuat bangga sang Prabu yang tak lain merupakan ayah biologisnya sendiri, hinga Sang Prabu mengirimkan Payung Kandaga kepada anaknya tersebut sebagai tanda bahwa Walangsungsang telah diangkat oleh Sang Prabu menjadi Adipati atau penguasa pesisir utara Cirebon, dengan gelar Sri Magana, meskipun dengan catatan Cirebon dalam tiap tahunya harus mengirimkan pajak berupa trasi (Penyedap rasa masakan) ke Pajajaran sebagai bukti ikatan.
Keraton Pakungwati Cirebon
Sebagai pengahsil bahan baku penyedap rasa dijaman itu (Garam dan Rebon) Cirebon yang semula bernama sarumban-caruban lama kelamaan di identikan dengan Garam (cai laut=air laut) dan Rebon (Udang laut berukuran kecil) bahan baku pembuat Trasi, itulah sebabnya sebagaian orang memahami maksud dari kata Cirebon berasal dari kata Cai dan Rebon, maksudnya daerah penghasil Cai (air laut/garam) dan Rebon.
Demikianlah awal mula peningkatan status Cirebon yang dahulu hanya sebagai desa kemudian berubah menjadi Keadipatian (Kabupaten dalam Struktur Pemerintahan Sekarang) dengan Adipati/Raja bawahan Ki Cakrabuana atau Mbah Kuwu Cirebon atau Walangsungsang yang bergelar Sri Magana.
Cirebon Sebagai Sebuah Kedaipatian Bawahan Pajajaran
Setelah pristiwa pengukuhan Walangsungsang sebagai Adipati Cirebon dengan gelar Sri Magana Carbon, dan masyarakat ramai mengetahui jika sejatinya Walangsungsang adalah anak Prabu Siliwangi, Ekonomi Cirebon bertambah pesat, hal ini wajar oleh karena jaminan keamanan di Cirebon langsung disorot oleh Pajajaran.
Dikarenakan aman dan damai ditambah ramai, maka kemudian Cirebon yang semula hanya tegal alang-alang (Hutan Rumput Tak Terurus) menjelma menjadi Negara Gede (Negeri Besar/Kota Besar) dijamanya, oleh sebab itu selain disebut Sarumban-Caruban-Cirebon juga disebut Grage, kependekan dari Negara/I Gede. Bersamaan dengan itu, karena Walangsungsang merupakan seorang muslim yang taat maka aturan-aturan dalam wilayah kekuasaannyapun kemudian mengikuti agama pemimpinnya, inilah sebab kemudian Cirebon menjelma menjadi keadipatian Islam pertama sekaligus menjadi pusat dakwah Islam di Pasundan.
Masjid Kesultanan Cirebon
Cirebon dijaman Walangsungsang bertambah terkenal setelah kedatangan ponakannya dari Timur Tengah yaitu Syarif Hidayatullah, yang tak lain juga sebagai cucu Prabu Siliwangi, beliau merupakan anak Nyimas Rarasantang dengan Raja Hud seorang pungasa di wilayah Banisrail (Mesir dan Palestine).
Hubungan Cirebon dengan Negeri-negeri Islam di Nusantara terjalin baik berkat Syarif Hidayatullah seperti hubungan dengan Demak, Campa, Malaka dan Pasai.
Pada perkembangannya hubungan Cirebon dengan Pusat Kerajaan Pajajaran kemudian menjadi buruk setelah peristiwa perjanjian Pajajaran dan Portugis pada Tanggal 21 Agustus 1522 Masehi.
Disatu sisi Pajajaran ingin memperkuat negerinya dengan cara menjalin persekutuan dengan Portugis, disatu sisi lainnya Kerajaan-kerajaan Islam di nusantara khawatir jika Portugis diberi kekuasaan di Jawa suatu waktu akan menghancurkan Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, sebagaimana yang telah dilakukan Portugis pada Pasai di Sumatra dan Malaka di Semenanjung Melayu.
Menghadapi masalah tersebut, Cirebon kemudian lebih memilih bersekutu dengan Demak menentang persekutuan Pajajaran dan Portugis. Peristiwa inilah menurut hemat penulis yang ditenggarai sebagai sebab musabab Cirebon memproklamirkan diri merdeka dari Pajajaran dan menyatakan Pendirian Kerajaan Islam Cirebon.
Dalam versi lain, sebagaimana tertulis dalam sejarah Kabupaten Cirebon, disebutkan Cirebon memisahkan diri dari Pajajaran terjadi pada Tahun 1482 yaitu dalam tahun ke II setelah Walangsungsang menyerahkan jabatan sebagai penguasa Cirebon kepada keponakannya Syarif Hidayatullah.
Cirebon Sebagai Sebuah Kerajaaan Islam Merdeka
Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa dalam sejarah Kabupaten Cirebon dikatakan bahwa Cirebon memisahkan diri dari Pajajaran terjadi pada Tahun 1482 Masehi dengan titi mangsa Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi.
Pemproklamiran Cirebon sebagai negara merdeka, didukung oleh Kesultanan Demak dan para Tumenggung dan Adipati pesisir utara Jawa yang sudah menerima Islam. Sementara itu Gelar yang disematkan kepada Syarif Hidayataullah selaku Raja Cirebon adalah Kanjeng Sinuhun Jati.
Selain memproklamirkan diri menjadi sebuah Kerajaan Islam yang merdeka dari Pajajaran, Cirebon juga kemudian meneguhkanya dengan perbuatan, dibuktikan mulai setelah itu kemudian Cirebon memutuskan untuk tidak lagi mengirimkan pajak tahunan berupa garam dan trasi ke Pajajaran.
Terasi, dipercayai berasal dari kata asih yang diberi imbuhan ter, kata asih sendiri dalam bahasa Sunda bermaksud cinta, suka, dengan demikian maka jika kata asih diberi imbuhan ter (terasih) maka mempunyai makna yang sangat disukai.
Terasih pada awalnya merupakan bumbu masakan (Penyedap Rasa) yang diciptakan oleh Pangeran Walangsungsang, beliau merupakan salah satu Pendiri Cirebon. Dinamakan Terasih, karena pada waktu itu Raja Kerajaan Galuh (Kerajaan Sunda Timur) sangat menyukai sekali penyedap masakan ini, bahkan sang Raja Paham betul masakan yang telah dibumbui trasi atau tidak, maka tidak mengherankan jika dalam legenda masyhur Cirebon disebutkan bahwa pelayan Raja terkena imbas kemarahan sang Raja hanya gara-gara masakan yang diperuntukan kepada Raja tidak dibumbui terasi.
Stok Terasih dalam Istana Kerajaan Galuh ini diambil dari upeti Cirebon yang waktu itu merupakan Negeri bawahan Kerajaan Sunda Galuh.
Sebagaimana lazimnya kosakata bahasa maka pada umumnya sifatnya kadang berkurang dan bertambah seiring berlalunya zaman. Begitipun kata"Terasih", kata tersebut ternyata mengalami pengurangan kata, sehingga kemudian berubah menjadi "Terasi".
Terasi yang kita kenal sekarang ini adalah suatu karya cipta yang terbuat dari campuran garam, nasi dan udang rebon yang ditumbuk, setelah ditumbuk terasi kemudian dibentuk menjadi gumpalan-gumpalan hingga berbentuk bulat-bulat atau kotak untuk kemudian dikeringkan. Setelah kering barulah terasi dapat disandingkan untuk dipergunakan sebagai penyedap makanan, dicampurkan sebagai bumbu olahan daging-dagingan, ikan, sayur-mayur atau bahkan disertakan sebagai penyedap rasa dalam sambal.
Dalam Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari diceritakan bahwa sebab-musabab marahnya Kerjaan Sunda Galuh terhadap Cirebon adalah penghentian pengiriman upeti dari Cirebon (Garam dan Trasi).
Naskah tersebut juga diperkuat oleh Naskah Mertasinga yang menyatakan bahwa kemarahan Baginda Raja Galuh terhadap Cirebon memuncak setelah Cirebon secara sengaja menghentikan pengiriman upeti garam dan terasi, dijelaskan pula didalamnya bahwa tidak lama setelah peristiwa penghentian pengiriman upeti itu kemudian Galuh menyerang Cirebon secara besar-besaran.
Hal tersebut adalah wajar, mengingat penghentian upeti yang dibayarkan oleh Cirebon bermaksud pembangkangan Cirebon terhadap pusat. Selain juga tentunya faktor kesukaan / keasihan sang Raja terhadap terasi.
Perlu dipahami bahwa dalam kultur budaya Sunda waktu itu perdagangan kuliner dipecaya merupakan penyumbang terbesar devisa negara, sehingga dengan diembargonya garam dan terasi oleh Cirebon menyebabkan kehancuran bisinis kuliner di Kerajaan Sunda.
Pada waktu itu Garam dan Terasi merupakan kunci dari kesedapan sebuah olahan makanan terutamanya makanan pokok (Nasi dan lauk Pauknya). hal tersebut dapat dipahami karena waktu itu tidak ada penyedap rasa seperti micin (Vetsin) apalagi Masako, Ajinomoto atau penyedap rasa sejenisnya. Jadi pada waktu itu garam dan trasi merupakan penyedap rasa andalan dijamanya. Tidak ada terasi maka sudah dapat dibayangkan bagaimana rasa masakan yang dihasilkan.
Dengan demikian maka dapatlah dipahami bahwa terasi rupanya berpengaruh terhadap kehancuran kerajaan Sunda, bermula dari matinya kegiatan ekonomi, khusunya bisnis kuliner, karena para penggemar maskan tidak lagi menaruh respon positif terhadap penjual-penjual makanan yang sudah tidak sedap lagi dan pada nantinya lesunya ekonomi kerajaan Sunda karena matinya bisnis andalan rakyatnya ini kemudian menghacurkan pendapatan pajak kerajaan.
Maka kegiatan embargo terasi yang diterapkan Cirebon terhadap Galuh ini pada nyatanya merupakan pembunuhan perlahan-lahan. Karena jika dimaknai secara jujur Terasi zaman itu kedudukannya sama percis dengan minyak bumi dalam zaman ini. Tidak ada minyak bumi tentunya dapat menyebabkan lumpuhnya ekonomi suatu negara.
Pemproklamiran kemerdekaan Cirebon dan penghentian pengiriman pajak yang dilakukan Cirebon ini kemudian membuat marah Pajajaran, dengan segera Pajajaran mengirimkan 100 prajurit pilih tanding yang dilengkapi Bedhil guna memberi pelajaran pada Cirebon, penyerangan tersebut dipimpin oleh Patih Jagabaya. Namun demikian, penyerangan tersebut kemudian dapat dipatahkan Cirebon, seluruh tentara dan bahkan Patihnya kemudian justru membelot dan masuk Islam.
Peristiwa pemproklamiran kemerdekaan Cirebon dari Pajajaran serta penyerangan yang dilakukan oleh Pajajaran tercatat dalam Naskah Mertasinga, meskipun tidak secara spesifik menjelaskan latar belakangnya. Selain hal tersebut juga dikatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi ketika Prabu Siliwangi selaku Kakek Syarif Hidayatullah masih hidup.
Tidak berselang lama, setelah peristiwa tersebut kemudian Prabu Siliwangi meninggal dunia. Inilah yang menjadi sebab kemudian antara Pajajaran dan Cirebon selanjutnya menjadi tegang dan berlawanan melihat sang Prabu selaku penegah sudah wafat.
Masa Kejayaan atau Kememasan Cirebon sebagai Sebuah Kerajaan berdaulat dimulai sejak diangkatnya Syarif Hidayatullah sebagai Sultan Cirebon I sampai dengan berakhirnya pemerintahan Sultan Cirebon ke II yaitu Pangeran Agung atau Panembahan Ratu yakni dari mulai tahun 1479-1649 Masehi.
Masa Syarif Hidayatullah, Cirebon banyak melakukan gebrakan-gebrakan politik dengan menjalin persahabatan dengan kesultanan-kesultanan di Nusantara terutamanya dengan Demak.
Pada masa Syarif Hidayatullah tercatat Cirebon melakukan pembangunan besar-besaran, seperti Pembangunan Istana, Masjid Agung serta insfrastruktur lainnya, pada awal-awal menjadi Sultan Cirebon, urusan administrasi Pemerintahan sepertinya masih dipegang oleh uwaknya Pangeran Cakrabuana, sedangkan Syarif Hidayatullah sendiri aktif dalam mendakwahkan Islam dipelosok-pelosok Pasundan. Barulah setelah uwaknya wafat kemudian Syarif Hidayatullah mengurusi keduanya.
Dalam masa Syarif Hidayatullah juga Cirebon tercatat dapat menaklukan Galuh (Pajajaran Timur) dengan dibantu oleh Demak. Sementara itu Cirebon juga kemudian berhasil menaklukan Pajajaran Barat (Pakwan) melalui Kesultanan Banten yang juga pendiriannya digagas oleh Syarif Hidayatullah.
Pada masa ini juga Cirebon berhasil mengislamkan negeri-negeri bawahan Pajajaran, seperti Sindangkasih, Singaphura, Surantaka, Indramayu, Talaga, dan masih banyak yang lainnya.
Pada masa Syarif Hidayatullah memerintah sebenarnya ada dua Pangeran yang digadang-gadang menggantikan jabatan beliau sebagai sultan, yaitu Pangeran Pasarean dan Pangeran Carbon atau Pangeran Sedang Kemuning (1495-1552) akan tetapi keduanya wafat sebelum dinobatkan menjadi Sultan.
Dalam masa sepuhnya Syarif Hidayatullah banyak menghabiskan waktu untuk mengajar Agama di Pesantrennya yang berada di Gunung Jati, dalam masa ini urusan pemerintahan kemudian diserahkan kepada Fatahillah atau Fadilah Khan yang merupakan menantunya sendiri.
Pada tahun 1568 Masehi Syarif Hidayatullah wafat dalam usia yang sangat sepuh, dan setelah kewafatan Sultan Cirebon I ini kemudian, pada Tahun yang sama diangkatlah Pangeran Agung yang bergelar Panembahan Ratu menjadi Sultan Cirebon ke II, Panembahan Ratu tersebut merupakan Cicit dari Syarif Hidayatullah, yang merupakan anak Pangeran Sedang Kemuning Bin Pangeran Pasarean Bin Syarif Hidayatullah.
Pada masa Panembahan Ratu memerintah, terjadi beberapa pemberontakan, diantaranya pemberontakan Arya Kuningan, Pemberontakan Datuk Pardun dan pada masa ini juga terjadi peristiwa terbakarnya Masjid Kasultanan Cirebon, namun masalah tersebut dapat ditangani oleh Sultan. Panembahan Ratu berkuasa dan menjadi Sultan Cirebon dari mulai tahun 1568-1649 Masehi.
Dalam tahun 1649 Masehi Panembahan Ratu Wafat, sementara itu ternyata sebelumnya Pangeran yang digadang-gadang menggantikan beliau yaitu Pangeran Sedang Gayam (Pangeran Dipati Anom Carbon II) ternyata wafat sebelum dinobatkan.
Dengan demikian selanjutnya yang menjadi Sultan Cirebon ke III yaitu Pangeran Putra dengan Gelar Panembahan Girilaya yang merupakan anak Pangeran Sedang Gayam. Pangeran Sedang Gayam memerintah dari mulai Tahun 1649-1662 Masehi.
Pada masa Panembahan Girilaya inilah awal mula benih-benih kemunduran Kerajaan Cirebon muncul kepermukaan.
Masa Kemunduran Kerajaan Cirebon
Benih-benih kemuduran Kerajaan Cirebon dimulai pada Tahun 1649-1662 Masehi ketika Cirebon dipimpin oleh Panembahan Girilaya, sebab-sebab kemunduran Cirebon ini ditenggarai karena bangkitnya tiga kekuatan Politik besar di pulau Jawa yaitu Kesultanan Mataram yang terletak di Timur Cirebon, dan VOC Belanda serta Kesultanan Banten yang terletak di Barat Cirebon.
Mataram, Banten dan VOC dalam tahun itu menggenjot ekonominya untuk membiyayai Militer besar-besaran, sementara Cirebon sendiri cenderung fakum dalam memperbesar kekuatan ekonomi dan militernya, hal ini wajar sebab Cirebon memang dalam waktu itu lebih banyak melakukan dakwah-dakwah Islam ke Pelosok Pasundan.
Pada Tahun 1649 Sampai dengan 1662 terjadi gesekan kepentingan di Cirebon, Mataram pada waktu itu menginginkan Cirebon tetap dibawah kendalinya, pun Juga dengan Banten merasa perlu menarik Cirebon untuk bergabung dengan Banten agar membangkang dari Mataram, Dalam Istana Cirebon terpecah menjadi dua kubu, ada yang condong ke Mataram dan adapula yang Condong ke Banten.
Puncaknya, pada tahun 1660-1661 Ketika Panembahan Girilaya berkunjung ke Mataram untuk seba ke Sultan Mataram yang sekaligus juga sebagai mertuanya, dimana dalam kunjungannya itu Sultan Mataram Menekan Cirebon Agar tegas menolak Banten dan tetap berada dibawah Mataram, namun demikian ternyata kemudian Panembahan Girilaya menolaknya hingga kemudian atas peristiwa penolakan tersebut Panembahan Girilaya beserta kedua putra mahkota Cirebon ditawanan Kesultanan Mataram, dan tidak boleh pulang ke Cirebon, dalam penahanan itu Panembahan Girilaya dikabarkan wafat karena diguna-guna pada tahun 1662.
Setelah Kewafatan Panembahan Girilaya, terjadi kegoncangan di Cirebon, di Cirebon selama 16 tahun setelah kewafatan Sultan Cirebon ke III tersebut tidak mempunyai Seorang Sultan, urusan Pemerintahan dipegang oleh Pejabat Pengganti Sultan yang dijabat oleh Pangeran Wangsakerta anak dari Panembahan Girilaya dari istri lainnya.
Setelah 16 tahun berselang, di Mataram terjadi pemberontakan Trunojoyo, pemberontakan itu didukung oleh orang-orang Banten dan Cirebon, pemberontakan itupun berhasil menguasai Istana Mataram, Pangeran Cirebon yang disekap kemudian dapat diselamatkan pemberontak dan dibawa ke Kediri. Sementara Amangkurat I yang kala itu menjadi Raja Mataram melarikan diri namun kemudian wafat dalam pelarian.
Setelah Pangeran Kertawijaya dan Mertawijaya dapat diselamatkan, keduanya kemudian dibawa pulang ke Cirebon, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan akhirnya kedua Pangeran tersebut kemudian dilantik menjadi Sultan.
Karena di Cirebon waktu itu ada dua Sultan maka mulai setelah itu Cirebon dibelah menjadi dua kerajaan, yaitu Kesultanan Kasepuhan yang dirajai oleh Pangeran Mertawijaya dan Kesultanan Kanoman yang dirajai oleh Kertawijaya.
Cirebon dibawah pemerintahan Pangeran Merta Wijaya (Sultan Sepuh Raja Syamsudin) serta wilayah kekuasaannya dinamakan Kasultanan Kasepuhan Cirebon. Sedangkan Cirebon dibawah pemerintahan Pangeran Kertawijaya (Pangeran Anom Mohamad Badarudin) serta wilayah kekuasaannya dinamakan Kasultanan Kanoman Cirebon.
Kasepuhan sendiri berasal dari kata Sepuh yang berarti tua, sementara Kanoman sendiri berasal dari kata Nom yang berarti muda, jadilah setelah itu kemudian Cirebon terdapat II Kerajaan, yakni kerjaan Tua dan Muda, dengan Wilayah kekuasaan masing-masing.
Berdirinya kedua kesultanan Cirebon itu menandai bebasnya Cirebon dengan Mataram, pada waktu ini Cirebon dibawah perlindungan Banten. Mulai saat itu juga gelar Panembahan untuk Raja Cirebon dihapuskan digantikan dengan gelar Sultan yang mendapatkan legitimasi dari Kesultanan Banten.
Terpecahnya Cirebon menjadi II kerajaan tersebut terjadi pada Tahun 1678 Masehi. Penamaan Sepuh dan Nom dalam menamai kedua kesultanan tersebut karena Pangeran Merta Wijaya merupakan Pangeran yang lebih Tua dari Pangeran Kertawijaya sementara Pangeran Kertawijaya lebih muda dari Pangeran Merta Wijaya, karena kedua Sultan tersebut pada dasarnya merupakan kakak dan adik.
Selanjutnya pada tahun 1807-1810 ketika pengaruh Belanda sudah menguasai hampir seluruh Jawa dimana Banten sudah dikalahkan Belanda dan Mataram sudah lama hancur digantikan kerjajaan kecil-kecil, Belanda secara pengaruh sudah menguasai Cirebon, hampir seluruh kebijakan Kasultanan Kasepuhan dan Kanoman cenderung disetir Belanda.
Dalam zaman itu ketidak adilan di Cirebon akibat kesewenang-wenangan kebijakan Kesultanan yang dipelopori Belanda membawa penderitaan rakyat Cirebon, sehingga rakyat Cirebon waktu itu sudah muak terhadap para Rajanya.
Pada Tahun 1806 meletuslah pemberontakan besar di Cirebon yang dipelopori oleh para ulama dan santri, Pemberontakan tersebut dipimpin oleh Kiyai Bagus Rangin dan Kiyai Bagus Serit
Alasan pemberontakan pada umumnya didasarkan karena Para penguasa Cirebon-Indramayu dianggap antek-antek Belanda yang mengangkangi rakyat dan lebih memilih memanjakan para penguasa Cina. Perlawanan ini didukung oleh salah Satu Pangeran Kasultanan Kanoman yang bernama Pangeran Buhaeiridin.
Pangeran Buhaeiridin kemudian berhasil di tangkap dan diasingkan ke Ambon. Melihat Pangeran Pro rakyatnya di Buang Belanda, Perlawanan Kiyai Bagus Rangin dan Kiyai Bagus Serit semakin didukung rakyat, Belanda kemudian kwalahan menghadpi perlawanan tersebut.
Dengan taktiknya, kemudian Belanda membawa kembali Pangeran Buhaeiridin dari pengasingan ke Cirebon dan kemudian melantinya menjadi Sultan Baru, mulailah setelah itu Cirebon terpecah menjadi III Kerajaan, Pangeran Buhaeiridin kemudian dilantik menjadi Sultan dengan gelar Sultan Carbon Buhaeiridin.
Adapun nama kerajaannya kemudian di beri nama Kasultanan Kacirbonan, selain Pelantikannya sebagai Sultan, Sultan Carbon Buhaeiridin juga kemudian dibangunkan Istana dan mempunyai wilayah kekuasaan sendiri. Pengukuhan dan Pelantikan tersebut terjadi pada tahun 1807 Masehi.
Dengan demikian mulai tahun 1807 Cirebon terpecah menjadi Tiga kerajaan, Kasepuhan, Kanoman dan Kacirbonan. Peristiwa Pengangkatan Pangeran Pro rakyat itu kemudian berangsur-angsur memadamkan Pemberontakan yang dipimpin Kiyai Bagus Rangin dan Kiyai Bagus Serit.
Selanjutnya setelah peristiwa terpecahnya Cirebon menjadi III kerajaan tersebut, selanjutnya berimbas pada kehancuran Cirebon secara perlahan-lahan, terlebih-lebih setelah itu kemudian para Sultan sudah tidak lagi punya wewenang dalam memerintah, Pemerintahan diambil alih Penjajah Belanda sementara para Sultan hanya dijadikan simbol penguasa lokal dan pendapatannya berasal dari gajih yang diberikan Belanda dalam tiap bulannya.
Wallahu'aklambhisshowab...

Sumber :
#NaskahCaritaPurwakaCarubanNagari
#NaskahMertasinga
#NaskahKuningan
#SejarahKabCirebon