Berbicara mengenai asal-usul atau sejarah lahirnya Kabupaten Kuningan sebenarnya terlalu mendramatisir bilamana dikait-kaitkan dengan masa Prasejarah diwilayah itu. Sebab tanpa membahas itupun pada nyatanya kita mampu menerka dan menemukan jawaban mengenai kenapa daerah tersebut dinamakan Kuningan.
Kuningan secara bahasa bermakna sesuatu benda yang berwarna kuning. Jadi kalau ada cincin, gelang, atau barangkali bokor (tempat penyimpanan sirih/Sejenis Guci) berwarna kuning yang mana benda-benda tersebut bukan terbuat dari emas ataupun perak maka benda-benda itu dikata terbuat dari kuningan.
Perlu dicatat bahwa kuningan ini sebenarnya warnanya tidak benar-benar kuning, lebih tepatnya hanya mirip warna kuning.
Munculnya nama Kuningan untuk menandai sebuah wilayah Kabupaten yang kini terletak di selatan Cirebon ini, sebetulnya berkaitan dengan Sejarah Cirebon. Ada yang berasumsi bahwa nama Kuningan itu diambil dari nama anak Sunan Gunung Jati yang bernama Arya Kemuning. Dinamakan Arya Kemuning karena dipercayai yang bersangkutan tampilan fisik kulitnya Kuning sebagaimana kulit etnis Cina pada umumnya.
Dalam Naskah-naskah Cirebon, dikatakan bahwa Arya Kemuning merupakan anak dari Ong Tien, seorang putri Cina yang dinikahi oleh Sunan Gunung Jati. Selain itu Naskah-naskah Cirebon juga menjelaskan bahwa Arya Kemuning ini, sebenarnya bukan anak bilogis dari Sunan Gunung Jati dan Ong Tien. Karena dalam kisahnya dijelaskan bahwa ketika Sunan Gunug Jati mengembara ke Negeri Cina, rupanya Sunan Gunung Jati di uji kesaktiannya oleh Penguasa lokal di daratan Cina tersebut, dengan cara tebak-tebakan.
Sang Penguasa diceritakan punya dua puetri yang satu sudah menikah dan menurut tabib istana sedang dalam keadaan hamil muda sementara yang kedua adalah puetri yang masih gadis yang tentu saja sedang tidak hamil karena memang tak bersuami.
Si penguasa itu kemudian diceritakan menyuruh kedua anaknya untuk hadir dihadapan Sunan Gunung Jati, dan kemudian sang penguasa menyuruh Sunan Gunung Jati menabak putri mana yang sedang hamil. Ajaibnya Sunan Gunung Jati kemudian menebak bahwa putri yang kedualah yang sedang hamil.
Mendengar Jawaban dari Sunan Gunung Jati demikian tentu saja Sang ayah tidak percaya akan kesaktian Sunan Gunung Jati, mengingat meskipun Putri yang ditebak oleh Sunan Gunung Jati tersebut berpenampilan layaknya orang hamil akan tetapi pada nyatanya putri tersebut perutnya telah dipasangi Bokor (Sejenis Guci Yang Terbuat Dari Kuningan) sebelum dihadapkan pada Sunan Gunung Jati. Dari hasil ujian kesaktian tersebut, Sunan Gunung Jati kemudian dianggap pembohong, dan pada akhirnya diusir dari Cina oleh penguasa tersebut.
Perlu dipahami bahwa dalam naskah-naskah babad Cirebon dinyatakan bahwa sebab-sebab dipanggilnya Sunan Gunung Jati ke Kediaman Penguasa Cina itu dikarenakan sebelumnya Sunan Gunung Jati dianggap lancang menyebarkan Agama Islam di daerah itu, dalam penyebaran agama Islam yang dilakukan Sunan Gunung Jati di Cina tersebut dikatakan Sunan Gunung Jati berdakwah dengan cara mengobati orang-orang sakit didaerah itu dengan jalan keajaiban. Inilah sebabnya kemudian mengapa sang penguasa memanggil Sunan Gunung Jati ke kediamannya untuk di tes kesaktiannya, dalam kata lain sang penguasa itu penasaran ini penyebar Islam asing ini benar-benar sakti apa tukang tipu, begitu kira-kira pikir sang penguasa.
Setelah dianggap gagal dalam menebak, mana yang hamil dan yang tidak kemudian diceritakan Sunan Gunung Jati diusir dari Cina, dan pada nantinya Sunan Gunug Jati meninggalkan Cina menuju Cirebon. Namun demikian setelah peristiwa itu,kejadian aneh muncul, ternyata Puteri yang pura-pura hamil dengan mengikatkan bokor diperutnya itu kemudian ternyata benar-benar hamil, dan bahkan diceritakan bokor tersebut kemudian menghilang dan masuk kedalam perut sehingga menjadi janin.
Mendapati Puterinya hamil, sang penguasa kemudian baru menyadari bahwa Sunan Gunung Jati benar-benar orang Sakti, dan mengakui kesaktiannya. Namun malang nasib sang puteri itu, hamil tiada suami. Sebab itulah kemudian sang Puteri diperintahkan untuk pergi meninggalkan Cina dan berlayar ke Cirebon untuk mengabdikan diri ke Sunan Gunung Jati. Puteri Cina itu dikenal dengan nama Ong Tien. Dan kelak anak yang lahir dari rahim Ong Tien tersebut kemudian diberi nama Arya Kemuning yang dipercayai mempunyai arti seorang kesatria yang lahir dari bokor yang terbuat dari kuningan. Tapi ini versi legenda, jauh daripada logika.
Meskipun secara jelas Naskah Cirebon menyatakan bahwa asal-usul Arya Kemuning merupakan anak jelmaan Bokor Kuningan yang tiada berayah, akan tetapi tidak demikian dengan asumsi penulis. Penulis beranggapan itu hanya kisah legenda saja, mengingat naskah-naskah Cirebon pada nyatanya dituliskan dengan bahasa kiasan sastra yang perlu penafsiran-penafsiran dalam menanggapinya.
Penulis menduga bahwa, "Arya Kemuning merupakan anak biologis dari Sunan Gunung Jati dan Puteri Cina yang bernama Ong Tien, dinamakan Arya Kemuning karena anak tersebut berkulit kuning seperti kulit ibunya. Setelah kelahiran Arya Kemuning, Sunan Gunung Jati membawa beliau jauh dari Istana dan dititpkan kepada suadara beliau diselatan Cirebon (Luragung), dan ketika dewasa Arya Kemuning kemudian diangkat menjadi Adipati diderah tersebut, Daerah yang dipimpinnya kemudian dinamakan Daerahnya orang Kuning/Kuningan, sementara Arya Kemuning kemudian dikenal juga dengan nama Pangeran Kuningan. Maksudnya penguasa wilayah Kuningan".
Sunan Gunung Jati mempunya kebiasaan yang unik dalam membangun kekuasaan dan menyebarkan Islam di tanah Sunda. Seperti dalam kasus Banten, Sunan Gunung Jati setelah mengislamkan Adipati Banten kemudian memperistri anak dari sang adipati (Ada juga yang menyatakan Adik Adipati Banten), wanita yang diperistri Sunan Gunung Jati itu bernama Nyimas Kawunganten, dari perkawinan keduanya kemudian beliau memperoleh anak laki-laki yang diberinama Pangeran Sabakinkin, yang menpunyai nama lain Maulana Hasanudin. Dan belakangan Maulana Hasanudin ini kemudian setelah dewasa dinobatkan menjadi Sultan Banten oleh Sunan Gunung Jati. Dan Banten dijadikan pusat penyebaran Islam di Sunda bagian barat.
Nah begitupun dengan kasus Kuningan, Arya Kemuning itu nyatanya Anak Sunan Gunung Jati sendiri yang dipersiapkan untuk menjadi Adipati Kuningan. Dahulu gelar Adipati itu tidak sembarang orang, harus keturunan Raja Pusat atau minimal Sudara dekat, kan begitu.
Lalu, kenapa Kuningan tidak dibuat kesultanan dan pusat penyebaran Islam di Sunda juga macam banten. Pembentukan Keadipatian Kuningan Ini sebagi Benteng Cirebon dalam menghadapi kerajaan Galuh yang berpusat di Kawali (Sekarang Ciamis), Sehingga dengan adanya Kuningan yang Pro Cirebon, serbuan Kerajaan Galuh sebelum masuk ke pusat Kesultanan Cirebon dapat terlebih dahulu ditangkal oleh Kuningan.
Dalam sejarah Kabupaten Kuningan diputuskan bahwa hari jadi Kab Kuningan yaitu pada 1 September 1498 yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kuningan Nomor 21/Dp.003/XII/1978 tanggal 14 Desember 1978. Tahun tersebut didasarkan pada tahun dimana Arya Kemuning diangkat menjadi Adipati yang memerintah Kuningan dibawah Kesultanan Cirebon. Selain itu dalam legenda atau cerita-cerita yang berkembang dikuningan, dikatakan bahwa Arya Kemuning dan Pangeran Kuningan itu adalah dua orang yang berbeda. Tapi anehnya dalam naskah-naskah Cirebon tidak demikian, Arya Kemuning ya Pangeran Kuningan satu orang, anak Ong Tien itu.
Pangeran Arya Kemuning atau Pangeran Arya Adipati Kuningan juga mempunyai nama lain Suranggajaya. Suranggajaya mewarisi nama Arya Kemuning dari Bratawijaya. Kemudian, sesuai pesan Syekh Syarif Hidayatullah, Suranggajaya dinobatkan sebagai Adipati Kuningan, menggantikan Ratu Selawati (Ratu Kerajaan Kuningan). Penobatan ini dilakukan pada tanggal 1 September 1498 Masehi. (Sejak tahun 1978, hari pelantikan Suranggajaya menjadi Adipati Kuningan itu ditetapkan sebagai Hari Jadi Kuningan sampai sekarang.) Sebagai Adipati, Suranggajaya menggunakan nama Pengeran Kuningan bergelar Pangeran Arya Adipati Kuningan.
Sedikit kisah penobatan Suranggajaya atau Pangeran Arya Kemuning saat dinobatkan oleh kanjeng Sunan Gunung Jati.
"Pagi itu cuaca cerah, angin bertiup sepoi-sepoi di pendopo keraton Pakungwati Cirebon dengan iringan gending gamelan mendayu-dayu.
Seorang pria muda gagah dan tampan duduk bersila tepat di hadapan singgasana Sultan. Wajahnya tampak berwibawa dan sedikit tegang sekaligus menyimpan bahagia. Di kanan dan kirinya berjejer Menak (ningrat) yang dikawal beberapa para prajurit. Suasana ruangan begitu sakral dan khidmat.
Tak lama kemudian muncul kanjeng Sinuhun Sunan Gunung Jati sambil tersenyum lalu duduk di peraduannya. Sontak seisi ruangan memberi salam kehormatan.
"Hari ini aku penuhi janji kepada anakku, Arya Kamuning", Aku angkat engkau Bertahta di Kuningan dengan gelar Sang Adipati', kata Sinuhun Sunan Gunung Jati".
Mungkin begitulah suasana 'pelantikan' Adipati Kuningan Arya Kemuning di istana Pakungwati pada saat itu sebelum 521 tahun ini.
Konon, peristiwa penting ini terjadi pada 14 Suro tahun setempat yang bertepatan dengan 1 September 1498, dan menurut tanggal tersebut adalah jatuh pada hari Sabtu.
Saat itu, Kuningan merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Pakungwati Cirebon pimpinan kanjeng Sunan Gunung Jati.
Arya Kamuning alias Suranggajaya alias Bratawiyana dalam versi lain ialah anak Ki Gedeng Luragung.
Menurut cerita lisan, ia menjadi anak angkat Sunan Gunung Jati untuk 'mengobati' kesedihan istrinya yang mengalami keguguran.
Selepas pelantikan, Arya Kamuning yang menunggangi kuda putih, Si Windu bergegas kembali ke Luragung. Sang Adipati ditemani Ewangga yang di kemudian hari menjadi Panglima Perang-nya.
Mula-mula Sang Adipati menggabungkan Luragung dengan Kajene menjadi satu yakni Kuningan.
Lalu ia membangun kekuatan militer yang cinta damai khususnya pasukan berkuda atau"kavaleri".
Nah dengan pasukan inilah, Keadipatian Kuningan banyak membantu Sunan Gunung Jati dalam penyebaran ajaran Islam terutama wilayah selatan Priangan seperti Ciamis,Tasikmalaya, Banjar, Pangandaran, dan Garut.
Adipati Kuningan melalui Ewangga juga turut membantu Kesultanan Demak 'mendatangi' Kesultanan Banten. Kemudian menyerbu Portugis di SundaKalapa .
"Ia juga sempat bersitegang dengan Arya Wiralodra, penguasa Indramayu. Namun ketegangan tersebut berhasil diredakan oleh Sunan Gunung Jati", menurut cerita E. Mungal, abdi dalem keraton Kasepuhan Cirebon.
Semasa tak ada perang, Arya Kamuning menata kehidupan rakyatnya terutama sektor pertanian. Saat itu umumnya masyarakat Sunda di Kuningan masih menggunakan Huma (sawah kering) untuk menanam padi.
Lalu Sang Adipati melakukan revolusi hijau dengan memadukan konsep pertanian dari Demak dan Mataram yakni sawah basah seperti yang kita tahu saat ini.
"Kontur wilayah Kuningan yang berbukit-bukit mengakibatkan sawah menjadi bertingkat-tingkat" (terasiring).
Tak hanya padi sawah, Sang Adipati pun memperkenalkan sumber pangan baru yaitu
Boled atau umbi tanah/ubi jalar.
Konon, ide ini muncul tatkala beliau berkunjung ke kaki gunung Ciremai di sekitar Lembah Cilengkrang . Pangeran Arya Kamuning kemudian mendapatkan 'areuy' atau bibit Boled tersebut yang kemudian ditanam di sawah"
Dalam setiap melakukan perjalanan, Suranggajaya memakai nama Arya Kemuning.
Hampir semua versi menyebutkan bahwa Arya Kemuning adalah anak atau anak angkat Sunan Gunung Jati dengan Putri Ong Tien Nio atau Ang Liong Tin. Namun apabila ditilik dari babad peteng (sastra suram, yang sengaja digelapkan agar tidak diketahui umum) maka akan lebih terlihat hubungan kekerabatan yang sesungguhnya.
Beberapa tempat di sekitar Ciayumajakuning (Cirebon-Indramayu-Majalengka-Kuningan), dalam sejarah pembentukannya banyak yang menyebut nama Arya Kemuning.
Satu di antara tempat itu adalah Arjawinangun. Arjawinangun berasal dari kata Harja (bahagia atau puas) dan Winangun (berkarya, membangun, bekerja atau melaksanakan tugas). Konon Arya Kemuning beristirahat di sini sepulang mengemban tugas dari Sunan Gunung Jati. Tugas yang diberikan adalah menyampaikan undangan kepada Suryadarma di Indramayu, agar menemui Sunan Gunung Jati di Cirebon.
Mundur ke belakang, kembali saat Putri Ong Tien Nio atau Ong Tien atau Ang Liong Tien berlayar menyusul Syekh Syarif Hidayatullah ke Cirebon.
Sepulang dari Cina, Syarif Hidayatullah mengembangkan ajaran Islam di Pesantren Amparan Jati, Gunung Jati, Cirebon, menggantikan Syekh Nurjati atau Syekh Dzatul Kahfi.
Sementara itu, Nyi Indang (Endang) Geulis (istri Pangeran Cakrabuana) beserta putrinya, Nyi Mas Pakungwati, datang menemui Syarif Hidayatullah di Amparan Jati. Nyi Indang Geulis menyerahkan titipan kandaga yang berisi surat dari Pangeran Cakrabuana. Pada kesempatan ini, Syekh Syarif Hidayatullah memperistri Nyi Mas Pakungwati.
Memasuki Wilayah Laut Jawa, di sekitar Kepulauan Seribu, kapal Putri Ong Tien diterjang ombak badai. Kapalnya karam di dekat sebuah pulau, yang kemudian disebut sebagai Pulau Balik Layar. Sang Putri dan beberapa ABK yang selamat terdampar di sebuah pulau, yang kemudian dinamakan Pulau Putri. Kelak kedua pulau itu menjadi tempat persembunyian Pasukan Sandi Pangeran Jayakarta yang dipimpin oleh Adi Patih Keling dan kawan-kawan, dalam menyerang benteng Portugis di Pelabuhan Sunda Kelapa, membantu pasukan Fatahillah atau Faletehan atau Fadillah Khan yang melalui darat.
Dengan waskitanya, Syarif Hidayatullah mendapat petunjuk dari Allah dan mengetahui kejadian tersebut. Syarif Hidayatullah berangkat menjemput Sang Putri yang terdampar di Kepulauan Seribu. Syarif Hidayatullah telah memaafkan Putri Ong Tien dan ayahnya Sang Kaisar Cina. Sesampainya di Cirebon, Syarif Hidayatullah menikahi Putri Ong Tien dan menetap di Gunung Jati.
Tak berapa lama kemudian, Putri Ong Tien diungsikan dan dititipkan ke Ki Lurah Agung (atau Ki Gedeng Lura Agung atau Ki Gedeng Luragung), ke tempat yang kemudian dinamakan Luragung. Ki Gedeng Luragung terlahir dengan nama Raden Jayaraksa atau Raksa Jaya Menggala atau Surajaya Menggala atau Sura Dijaya atau Sura Menggala. Di tempat ini, Ki Gedeng Luragung membawa serta anaknya yang bernama Sura Anggajaya atau Suranggajaya.
Jayaraksa (Ki Gedeng Luragung) adalah anak ketiga, setelah Raden Bratawijaya dan Ratu Selawati. Mereka bertiga adalah cucu Prabu Siliwangi. Artinya masih sepupu tiri Syekh Syarif Hidayatullah (dari nenek tiri), atau ponakan tiri Pangeran Cakrabuana (dari ibu tiri). Bratawijaya, Ratu Selawati dan Jayaraksa adalah anak dari Prabu Surawisesa atau Guru Gantangan (saudara tiri Cakrabuana) dengan Mayang Kuning (anak Prabu Langlangbuana).
Prabu Langlangbuana (pewaris Kerajaan Kuningan Hindu) adalah menantu Prabu Dewa Niskala, berarti ipar Prabu Sribaduga atau Prabu Siliwangi. Berarti Bratawijaya, Ratu Selawati dan Jayaraksa, adalah cicit Prabu Dewa Niskala baik dari pihak ibu maupun ayah.
Prabu Langlangbuana kemudian mewariskan nama Pangeran Langlangbuana kepada Cakrabuana. Cakrabuana hanya dikenal sebagai Pangeran Langlangbuana di daerah Kuningan saja, dan dianggap sebagai ayah angkat dari Bratawijaya, Ratu Selawati dan Jayaraksa. Karena mereka bertiga di-Islam-kan oleh Pangeran Cakrabuana (Uwak tiri mereka). Sedangkan warisan tahta Kerajaan Kuningan dari Prabu Langlangbuana jatuh kepada Mayang Kuning (putrinya), kemudian berlanjut kepada Ratu Selawati (cucunya).
Setelah Ratu Selawati menganut agama Islam kemudian menikah dengan Syekh Maulana Arifin. Syekh Maulana Arifin adalah juga keturunan Prabu Dewa Niskala. Ibu Syekh Maulana Arifin adalah Nyi Wandansari. Nyi Wandansari adalah putri Raden Surayana. Raden Surayana adalah adik Prabu Siliwangi, anak Prabu Dewa Niskala.
Ayah Syekh Maulana Arifin adalah Syekh Bayan (atau Syekh Bayanullah) dari Mekkah, yang rumahnya disinggahi oleh Walangsungsang dan Rara Santang saat mereka menunaikan ibadah haji. Syekh Bayan adalah sahabat Syekh Datuk Kahfi (atau Dzatul Kahfi), yang sudah dianggap adik oleh Syekh Datuk Kahfi. Syekh Bayan kemudian dikenal pula dengan nama Syekh Maulana Akbar pendiri pesantren pertama di Kuningan di wilayah Kajene, di sekitar Desa Sidapurna sekarang. Itulah sebabnya pusat pemerintahan Kuningan kemudian pindah ke Kajene. Karena dekat dengan Pesantren Syekh Maulana Akbar.
Dari tokoh-tokoh inilah terjadi berbedaan versi tentang siapa Arya Kemuning atau Pangeran Kuningan, Sang Adipati.
Versi 1: Arya Kemuning adalah nama lain dari Bratawijaya.
Versi 2: Arya Kemuning adalah anak dari Ratu Selawati dengan Syekh Maulana Arifin.
Versi 3: Arya Kemuning adalah Suranggajaya.
Versi 4: Arya Kemuning adalah bayi dari kandungan Putri Ong Tien.
Tampaknya, versi ke-4 adalah yang paling banyak diketahui khalayak umum. Apalagi pada versi ketiga, nama Suranggajaya hanya terdapat pada Babad Peteng. Meskipun kemudian nama Suranggajaya mulai dikenal pula pada sejarah Kuningan. Nama “Suranggajaya” di Kuningan Mengapa Tidak Populer ?
Pengurai kekusutan ini, ada pada kelanjutan cerita Syarif Hidayatullah mengungsikan dan menitipkan Putri Ong Tien kepada Ki Gedeng Luragung pada Babad Peteng.
Dalam pengungsian di kediaman Ki Gedeng Luragung, Syarif Hidayatullah dan Putri Ong Tien Shalat Hajat dan bermunajat kepada Allah. Kemudian Syarif Hidyatullah mendekat ke arah Putri Ong Tien, dan berkata pada kandungan istrinya tersebut, "Wahai yang berada dalam kandungan, jika engkau adalah jabang bayi manusia, lahirlah sebagai manusia. Tapi jika engkau adalah bokor kuningan dan bantal, kembalilah ke wujud asalmu sebagai bokor kuningan dan bantal."
Tak berapa lama kemudian, kandungan Putri Ong Tien kembali menjadi bokor kuningan dan bantal. Maka ada versi cerita yang mengatakan bahwa bayi dalam kandungan Putri Ong Tien meninggal saat dilahirkan, atau versi lain menyebutnya keguguran. Namun ada pula versi yang menyebutkan Putri Ong Tien melahirkan bokor kuningan.
Pada masa itu, Luragung kemudian menjadi penerus Kerajaan Kuningan yang dulu beribukota di Saunggalah. Namun masa itu, kegiatan pemerintahan atau yang menjadi ibukota berada di Kajene. Artinya, pada masa itu ada dua tempat kegiatan pemerintahan di Kuningan, yaitu Luragung dan Kajene. Namun Kuningan tidak dianggap sebagai kerajaan melainkan sebagai buyut haden.
Bratawijaya adalah pemimpin pasukan di Kajene. Namun di Kajene juga terdapat pesantren, yang juga merupakan pedukuhan yang dipimpin oleh Syekh Maulana Arifin (suami Ratu Selawati).
Nama Arya Kemuning, sebenarnya adalah nama lain Bratawijaya saat memimpin di Kajene. Namun yang kemudian dikenal sebagai Arya Kemuning adalah Suranggajaya (putra Luragung) yang diasuh dan dididik secara militer oleh Bratawijaya. Suranggajaya sebenarnya telah diangkat anak oleh Putri Ong Tien (istri Syekh Syarif Hidayatullah, ada versi yang menyebutkan Suranggajaya adalah hasil tukar dengan bokor kuningan dari kandungan putri Ong Tien). Namun, oleh Ratu Selawati, juga dianggap sebagai anaknya, dan dididik secara ilmu agama di pesantren suaminya (Syekh Maulana Arifin), sekalipun mereka juga punya anak yang bernama Nyi Mas Kencanawati.
Bratawijaya sendiri sebenarnya memiliki anak yang bernama Selawiyana dan Dipawiyana, tapi tak ada yang mewarisi bakat ayahnya di bidang militer. Sementara itu, Bratawijaya mengasuh anak lain bernama Ewangga. Ketika Ewangga telah tumbuh dewasa, dia berniat mengabdi pada Syekh Syarif Hidayatullah di Kesultanan Cirebon. Namun Syarif Hidayatullah menyarankan Ewangga menjadi Panglima Perang di Keadipatian Kuningan.
Itulah sebabnya pada logo lambang Kabupaten Kuningan, terdapat gambar "kuda perang" Dipati Ewangga selain "bokor kuningan" Arya Kemuning.
Arya Kemuning (Suranggajaya) dan Ewangga beserta pasukan Kuningan turut andil dalam menyerang Pelabuhan Sunda Kelapa dalam BKO (bawah komando operasi) Fatahillah yang memimpin pasukan sandi Jayakarta. Seusai pertempuran, sebagian menetap di wilayah yang kemudian bernama Kuningan (Jakarta). Tapi inipun termasuk dalam babad peteng.
Wallahu'aklambhisshowab...
Sesungguhnya semua kebaikan itu adalah datangnya dari Allah dan jika ada kekhilapan dari saya mohon di maafkan..Semoga bermanfaat..
DIRGAHAYU KABUPATEN KUNINGAN KE 521 Th

Sumber cerita :
#Historyofcirebon.id
#SejarahCirebon
#suntinggelisindonesia