Misteri Desa Ujunggebang


Di kisahkan, Setelah Syarif Hidayatullah dinobatkan menjadi raja di Keraton Pakungwati Cirebon sebagai Sunan di Gunung Jati pada tahun 1482 M, yang mempunyai Wadyabala dan Bayangkari Keraton Pakungwati yang sangat tangguh dengan dipimpin oleh Pangeran Carbon yaitu putranya Mbah Kuwu Cakra Buana dengan sebutan Senopati Yuda Laga (Panglima Perang Keraton Cirebon).


Pangeran Carbon mempunyai bawahan yang sangat patuh, setia dan pemberani bernama Anyung Brata.
Anyung Brata mengandung arti

A= Aku,
Nyung = selalu siap siaga,
Brata = perang.

Anyung Brata selalu berada di barisan paling depan bila ada kerusuhan, peperangan dan keributan, karena keberaniannya itu Anyung Brata selalu disayang oleh Pangeran Carbon sebagai panglima perang.

Untuk menambah keprawiraan, Kedigjayaan, kanuragan dan pengetahuan keagamaan serta kema’rifatan, Pangeran Carbon dan Anyung Brata berguru ilmu kepada seorang Wali yang mempuni dalam kema’rifatannya ialah Syekh Lemah Abang/Syekh Siti Jenar/Syekh Jabal Rantah/Syekh Abdul Jalil yang mengajarkan ajaran Si’ah Munta Dzar atau paham Wihdatul Wujud/manunggale kawula lan Gusti.

Oleh Dewan Wali, ajaran Syekh Lemah Abang dianggap menyimpang karena tidak sesuai dengan Syareat Islam, dan dianggap mengganggu proses penyebaran Syareat Islam.

Atas usulan para Wali, Sultan Demak sebagai besan dan sesama ratu/raja di Jawadwipa yang menganut ajaran Islam (agama ageing aji) mengirim surat kepada Sunan Gunung Jati dan pasukan yang tangguh sebanyak 700 orang untuk menangkap dan membunuh Syekh Lemah Abang beserta para muridnya. Kedatangan pasukan Demak dengan jumlah besar ini, membuat kaget bayangkari Keraton Pakungwati.

Setelah tahu maksud dan tujuannya untuk membunuh Syekh Lemah Abang beserta murid dan para penganutnya, Pangeran Carbon sebagai Panglima Perang dan juga sebagai murid andalan Syekh Lemah Abang menjadi tegang, karena hampir 80% wadyabala dan Bayangkari Keraton Pakungwati adalah muridnya Syekh Lemah Abang.

Untuk menghindari pertumpahan darah antara wadyabala Demak dan Cirebon, sesepuh Cirebon Mbah Kuwu Cirebon dan para pelaksana hukum serta para senopati keraton Cirebon yaitu Pangeran Kejaksan, Pangeran Panjunan, Ki Ageng Bungko dan Pangeran Carbon, menyarankan agar yang diadili adalah Syekh Lemah Abang saja sebagai Maha Guru yang harus Mempertanggung jawabkannya. Usulan itu disepakati bersama kemudian diadakan sidang tuntutan/gugatan para Wali kepada Syekh Lemah Abang yang digelar di Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon.

Dengan peristiwa itu para bekas murid Syekh Lemah Abang selalu diawasi oleh para penganut ajaran Sya’fei, Hanafi, dan Hambali.
Untuk menenangkan diri dan menahan diri jangan sampai terjadi “perang kadang ibur batur.”
Anyung Brata membawa istri tercintanya Nyi Mas Kejaksan putri dari Pangeran Kejaksan dan abdinya yang setia yaitu Ki Gawul (Ki Tambak) dan Ki Santani (Ki Bogo), keduanya dari daerah Pasundan. Meninggalkan Keraton Pakungwati ke arah barat daya Wilayah Keraton Pakungwati Cirebon di perbatasan wilayah Darma Ayu (Indramayu).

(Perang kadang ibur batur, sebuah guyon tonton atau disebut pula ungkapan tradisi yang mempunyai arti kiasan yaitu perang saudara)

Anyung Brata dan pengikutnya menyamar seperti masyarakat biasa lalu membuka hutan untuk dijadikan Pedukuhan. Waktu babad alas karena tak ada air, Nyi Mas Kejaksan meminta kepada suaminya supaya dicarikan air untuk minum dan masak. Dengan ilmu kesaktiannya, Buyut Anyung Brata menjejakkan kakinya ke Bumi 3x, saking kerasnya jejakan kaki Buyut Anyung Brata tanah itu berlubung dan mengeluarkan air walaupun sedikit tapi ada Belik ini diberi nama belik "sumur Satana" (asat tapi ana) namun setelah diminum airnya terasa asin seperti air laut, kemudian Ki Buyut Anyung Brata mencari lokasi atau tanah yang tepat ke arah tenggara ±150 m supaya airnya tawar. Dengan jejakan kaki yang lebih kuat, maka tanahpun berlubang sangat dalam dan mengeluarkan air deras, rasanya tawar diberi nama Sumuran.Tanah di hutan ini sangat subur cocok untuk pertanian dan palawija. Buyut Anyung Brata membabat hutan untuk dijadikan sawah dan diberi nama blok Si Berkat/Sri Berkah, Sri berarti padi, Berkah berarti diharapkan mendapat berokah atau dinamakan Si Berkat.

Kita tunda sulu kisah Buyut Anyung Brata, di tepi pantai wilayah Darma Ayu tepatnya di Desa Junti ada seorang Aki-aki dan Nini-nini yang punya tanaman palawija kebun jagung dan mempunyai seorang anak angkat Nyi Mas Pandan Sari atau disebut Nyi Mas Junti.

Di pagi hari yang sangat cerah, Nyi Pandan Sari mandi dan mencuci pakaian di sungai (kedokan), sinar mentari pagi nan cerah menerpa wajah Nyi Mas Pandan Sari yangcantik jelita bagai bidadari dari kayangan.

Tanpa disengaja ada seorang laksamana dan saudagar kaya dari negeri Cina bernama Sampo Kong/Sampo To Alang atau disebut Dampu Awang mendekati NyiMas Junti yang sedang mandi dan timbul hasratnya untuk meminangnya, namun karena belum mengenal, Ki Dampu Awang melangkah mendekatinya untuk mengenalkan diri dan menyampaikan hasratnya, namun Nyi Mas Junti yang masih muda belia ini sangat ketakutan melihat ada orang asing yang mendekatinya, ia lari meninggalkan sungai/kedokan. Maka temlat atau daerah itu kemudian hari menjadi nama desa Junti Kedokan.

Dampu Awang merasa gugup lalu segera mengejarnya namun kehilangan jejak, Nyi Mas Junti sembunyi di Kebon Jagung, disaat Ki Dampu Awang kebingungan datang Aki-aki dan Nini-nini, Ki Dampu Awang menanyakan kepadanya apakah ada gadis yang berlari kesini? Dan menerangkan ciri-cirinya, Aki dan Nini itu tersenyum, dan menjelaskan bahwa gadis yang di maksud adalah anak angkatnya yang bernama Nyi Mas Pandan Sari. Lalu Ki Dampu Awang bermaksud melamarnya. Nyi Mas Junti yang sedang bersembunyi karena ketakutan membuat batang jagung bergerak-gerak, Dampu Awang segera mendekatinya. Nyi Mas Junti lari meninggalkan Kebon Jagung. Maka tempat itu kelak menjadi Desa Junti Kebon.
Nyi Mas Junti terus lari karena ketakutan (bhs Cerbone Ke wedhi en), kelak tempat ini menjadi Desa Junti Wedhen, Wedhen dari kata Wedhi en. Tanpa pikir panjang, Nyi Mas Junti menyelinap ke dalam rumpun bamboo berduri (bhs Cirebon = Pring Ori), begitu sadar dirinya sudah berada di tengah rumpun bambu berduri. Melihat Nyi Mas Junti masuk ke rumpun bambu/Pring Ori yang lebat, Ki Dampu Awang tidak kehilangan akal, ia lalu menaburkan kepingan uang emas dengan jumlah sangat banyak ke rumpun bambu itu. Dalam benaknya percuma kaya harta benda tapi tidak bisa hidup bersanding dengan Nyi Mas Junti, lalu Ki Dampu Awang mengundang masyarakat, setelah kumpul, Ki Dampu Awang mengumumkan bagi siapa saja yang ingin kaya atau memiliki banyak emas silahkan ambil uang emas yang saya taburkan di rumpun bambu yang lebat itu. Spontan, masyarakat tersebut berebut menebang batang bambu berduri sambil memunguti uang emas yang di sebar oleh Ki Dampu Awang, dengan suara gaduh batang bambu yang roboh disertai sorak-sorai, karena keinginan mendapatkan kepingan emas, sampai sekarang orang Junti banyak memiliki emas yang banyak. Seorang Wali bernama Syekh Bentong sedang n’jaring (mencari ikan) di tepi pantai, sayup-sayup mendengar sorak-sorai yang gaduh, karena penasaran ia mendekati sumber suara. Setelah bertanya kepada seseorang tentang permasalahannya, Syekh Benthong lalu bersemedi sejenak, setelah mendapat wangsit/firasat bahwa Nyi Mas Junti tidak ditakdirkan berjodoh dengan Ki Dampu Awang, Ki Syekh Benthong secepat kilat menyambar tubuh Nyi Mas Junti yang tengah memegang erat batang bambu berduri (Pring Ori), yang "Nyungat" (bhs Cirebon Tinggalse batang). Maka, tempat itu kelak menjadi Desa Junti Nyungat. Mengetahui Nyi Mas Junti dibawa lari oleh seseorang, maka Dampu Awang segera mengejarnya.

Menurut mitos, Ki Dampu Awang mengejar Nyi Mas Junti menaiki perahu dan melayang terbang di angkasa, Ki Syekh Benthong dengan kemampuan ilmunya bagaikan kidang kencana dapat lari cepat sambil menggendong Nyi Mas Junti, sampai di perbatasan wilayah Cirebon, karena haus Nyi Mas Junti minta berhenti mencari air untuk minum, melihat ada Belik dan ada airnya. Nyi Mas Junti minum air itu dan Belik itu kelak diberi nama Sumur Pandan Sari yang letaknya di Desa Candang Pinggan kecamatan Kertasmaya Kabupaten Indramayu.

Kemudian Ki Syekh Bentong dan Nyi Mas Junti berjalan kaki memasuki wilayah Keraton Cirebon bertemu dengan Buyut Anyung Brata yang sedang mencangkul sawah adat Sri Berkah/Si Brekat, setelah berkenalan Syekh Bentong menitipkan Nyi Mas Pandan Sari/Nyi Mas Junti kepada Buyut Anyung Brata dan menceriterakan perihal Nyi Mas Junti sampai akhir.

Untuk mengecoh Dampu Awang yang masih mengejarnya, Ki Syekh Benthong yang seorang Wali, menancapkan "teken" (bhs Cirebon) tongkat bambu/pring wulu wungwang lalu di beri rajah/isim/arab gundul, maka seketika “teken” itu hilang dan timbul menjadi hutan belantara dan diberi nama Alas WaliSurat. Alas = hutan, Wali = seorang wali, Surat = berbentuk surat yang berisi rajah/isim, dan selanjutnya keselamatan Nyi Mas Pandan Sari/Nyi Mas Junti diserahkan kepada Buyut Anyung Brata dan menyarankan agar menikahinya, kemudian Syekh Bentong permisi guna melanjutkan perjalanannya.

Karena kuatir keberadaan Nyi Mas Junti diketahui oleh Ki Dampu Awang, maka Ki Buyut Anyung Brata mencari akal, lalu Nyi Mas Junti dibawa naik ke ujung/pucuk pohon Gebang yang daunnya lebar menyerupai kipas, kemudian Nyi Mas Junti dibungkus dengan daun Gebang yang paling ujung sehingga tidak kelihatan.Dengan peristiwa itu, maka pedukuhan tersebut diberi nama Pedukuhan Ujunggebang, Ujung = pucuk, Gebang = daun pohon Gebang yang lebar bertangkai seperti kipas. Kini Pedukuhan Ujung Gebang menjadi Desa Ujunggebang.

Maka datanglah Ki Dampu Awang tiba ke Pedukuhan Ujunggebang, namun terkena pengaruh ilmu gaib yang dipasang oleh Ki Syekh Benthong, sehingga di mata Ki Dampu Awang bukan Padukuhan yang nampak, namun hutan belantara Alas Wali Surat. Kemudian Ki Dampu Awang naik perahu lagi terus terbang ke angkasa menuju ke arah barat daya, namun yang di lihat tak ada tanda-tanda dari Nyi Mas Junti berada, terus diulang bolak-balik sampai sepuluh kali (balen) karena lelah dan putus asa Ki Dampu Awang duduk merenung di dekat parit (bhs Cirebon "kalen"), maka tempat itu diberi nama Kalen Sepuluh. Kalen = Parit, Sepuluh = bolak-balik (balen 10 kali).

Ki Dampu Awang kemudian didatangi oleh Ki Syekh Benthong untuk memberitahu bahwa Nyi Mas Junti/Nyi Mas Pandan Sari bukan jodohnya, dan jodohnya Ki Dampu Awang nanti ketemu di Trusmi, sebaiknya engkau segera pergi ke Trusmi, lalu Syekh Benthong yang merubah ujud aki tua itu hilang. Ki Dampu Awang terperanjat karena belum sempat bertanya siapa bakal jodohnya itu. Ki Dampu Awang segera meninggalkan tempat Kalen Sepuluh menuju Trusmi. Setelah kepergiannya Ki Dampu Awang, Nyi Mas Junti/Nyi Mas Pandan Sari yang dibungkus daun Gebang paling ujung itu segera dilepaskan, lalu menikahlah dengan Ki Buyut Anyung Brata dan menjadi istri kedua.

Di Pedukuhan, Buyut Anyung Brata dibantu para kerabatnya membuat masjid dengan Pengimbaran bergambar Banas Pati yang mengandung filosofi: ilmu Ma’rifat tentang hidup di alam fana karena kita akan memasuki alam Baso/kelanggengan.

Ki Gawul dan Ki Samtami bertugas sebagai keamanan di pedukuhan Ujunggebang. Ki Gawul bertugas jaga malam mengelilingi desa dengan naik kuda dan pos jaga di Wangan Jaga Dalu (bhs Cirebon "malam")/perbatasan Ujunggebang-Desa Bunder, Ki Samtami bertugas jaga siang dengan berkuda mengelilingi desa dan pos jaga di sungai Jaga Siang (sebelah timur Desa Ujunggebang). Mereka kerja tanpa pamrih, oleh karena itu sebagai rasa terima kasih, masyarakat Ujunggebang apabila lewat di jaga siang dan jaga dalu memberi sedekah, melempar uang, kue atau makanan lainnya, hingga kini sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat. Ki Gawul juga berjasa, karena bisa membendung (Nambak) Kedung Paren yang sangat curam/yang sulit dilewati, oleh masyarakat yang akan menuju Situs Buyut Murti/Makam Kidul, maka Ki Gawul disebut Ki Tambak.

Buyut Anyung Brata setelah menikah dengan Nyi Mas Pandan Sari/Nyi Mas Junti membuat pesawahan di blok Banyu Kuning ±1 ha, dibantu Kurung/orang dari desa Wot Galih. Nyi Mas Kejaksan gugut karena dia sebagai istri tua cuma ½ ha, di tanah Si Brekat. Kemudian Buyut Anyung Brata merenung sambil membuat kitiran di blok Ki Penggung, dengan kesaktiannya, bila Kitiran diterpa angin yang kencang terus berbunyi icik-icik jegur padi yang telah dipanen di tanah Si Brekat itu berbuah lagi, terus dipanen berbuah lagi seterusnya. Waktu itu yang membantu menuai padi orang Gunung Sari, karena kesal panennya tidak selesai-selesai selalu berbuah terus, oleh orang Gunung sari sawah itu dibakar supaya cepat habis. Kini sawah itu tidak seperti yang dulu bila dipanen cuma sekali selesai..

Setelah usia senja, Ki Buyut Anyung Brata wafat, atas jasa beliau sebagai Bayangkari Keraton Pakungwati, dan untuk mempererat hubungan antara kawula dan gusti, Buyut Anyung Brata dimakamkan di komplek Makam Sunan Gunung Jati di sebelah barat (blok Kemungkuran). Sejak itu sampai sekarang masyarakat Desa Ujunggebang setiap habis panen dan setiap bulan Maulud berziarah ke Astana Gunung Jati dan Makam Buyut Anyung Brata/Ki Gede Ujunggebang. Nyi Mas Kejaksan setelah wafat dimakamkan di Desa Ujunggebang, begitu juga Nyi Mas Pandan Sari/Nyi Mas Junti setelah wafat dimakamkan di Desa Ujunggebang. Oleh karena itu setiap acara Mapag Sri dan Unjungan, masyarakat dari Desa Junti Kedokan, Junti Kebon, Junti Wedhen dan Junti Nyungat selalu datang berziarah di Makam Nyi Mas Junti yang berada di Desa Ujunggebang.

Makam Nyi Mas Kejaksan dan Nyi Mas Junti dipelihara oleh abdinya yang setia yaitu Buyut Jembar sampai dengan keturunannya yaitu sebagai juru kunci turun temurun sampai sekarang. Adapun Ki Samtani setelah wafat dimakamkan di Situs Ki Bogo yang letaknya di tengah Desa Ujunggebang, sedangkan Ki Gawul setelah wafat dimakamkan di pojok sebelah tenggara Desa Ujunggebang di dekat Kedung Paren yang ditambak olehnya, dan masyarakat Ujunggebang menyebutnya Situs Ki Tambak.

Wallahu'aklambhishowab..

Sesungguhnya semua kebaikan itu adalah datangnya dari Allah dan jika ada kekhilapan dari saya mohon di maafkan..Semoga bermanfaat..Maturksuwun